Laman

Selasa, 11 September 2012

KISAH IMAM AL GHOZALI

Salah seorang pemikir besar di dunia Islam abad ke lima Hijriyah, yang terkenal dengan julukan hujjat al-Islam, adalah al-Ghazali. Tokoh ini senantiasa menjadi fokus pembicaraan dan sorotan , baik bagi yang bernada pro maupun yang kontra. Dari satu pihak, al-Ghazali di pandang sebagai penjelmaan dari hadis Nabi yang menyatakan bahwa pada awal setiap abad,
Allah akan mengutus seorang hamba-Nya untuk menghidupkan keimanan umat Islam. Namun di pihak lain, Al-Ghazali dipandang sebagai orang yang ‘tersesat’ dan ‘biang keladi’ kemunduran pemikiran umat Islam, dengan Tahafut al-Falasifah-nya yang mengakibatkan sejak saat itu filsafat hampir tidak lagi didengar di dunia Islam. Ditambah lagi dengan tasawufnya yang lebih mengutamakan aspek rasa (dzawq) dan kasyf daripada pemikiran ilmiah yang kritis.
Imam Al Ghazali, Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali. Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, Al-Ghazali dan adik laki-lakinya Ahmad (w.1126) kepada seorang teman sufi yang shaleh. Disaat Ayah Al Gazali meninggal dunia usia Al Gazali masih 6thn.
Maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, mencakup pelajaran Al-Qur’an dan al-Hadis, mendengarkan kisah tentang para ahli hikmah, dan menghapal cerita cinta mistis. hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian wawasan mereka.
Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.”
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat.
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili. Disini Beliau belajar selama 5thn
Sebelum ulang tahunnya yang kedua puluh, Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan selama 5thn pula. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini.
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik disini Beliau tinggal selama 6thn bersama istri dan 3 putri Beliau. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun.Pada masa ini Al-Ghazali menyusun karya pertamanya , yang diberi judul al- Mankhul min ‘ilm al-ushul (Ikhtisar ilmu tentang prinsip-prinsip) membahas metode ilmu hukum. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Hingga ada beberapa ulama' dari beberapa aliran islam  yang tidak senang dengan kemashuran beliau dan ajaran ajaran beliau.
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H.
Pada fase Bakhdad, Nizam Al-Mulk mengangkat Al-Ghazali menjadi Guru Besar sekaligus Rektor Nizamiyyah Bakhdad dalam usia beliu 34 tahun. Berlangsung selama 4.5 tahun sejak Jumadil al-Ula 484  H sampai Zulqaidah 488 H, disebabkan banyak  terjadinya konflik dan persetruan.
Pada waktu inilah ada beberapa tokoh yang pro dan kontra pada Imam Al Gazali. 
Akhirnya beliu mengundurkan diri dengan mewakafkan seluruh kekeyaanya kecuali sekedar bekal untuk keluarga. Pristiwa ini merupakan catatan penting bukan saja menentukan pemikiran dan kehidupan Al-Ghazali seterusnya, tetapi juga turut mengubah arah perkembangan dan pemikiran kehdiupan dunia Islam selanjutnya dari corak rasionalistik-formalistik-parsialistik kepada corak sintetik-integralistik kembali. Kemudian perjuangan beliu dilanjuti oleh muridnya yang bernama Muhammad bin Taumart yang bergelar al-Mahdi untuk menghancurkan Murabitin. Sejarah menyimpulkan bahwa Al-Ghazali hidup dalam tradisi yang sudah terpisah dari tradisi politik. Sampai masa Al-Ghazali akumulasi ilmu pengetahuan sudah memuncak seperti usul fiqh, ilmu hadist, ilmu-ilmu naqliah, ilmu sosial, ilmu alam dan lain sebagainya. Sehingga imam Al-Ghazali sebagai pengembang dan memodifikasi dari apa yang sudah ada sebelumnya. 

 Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi. di masa-masa perpindahan beliau ini di lakukan untuk menambah ilmu dari para ulama'terkemuka di daerah yang beliau singgahi pada waktu itu ”.
Mengenai ini Al-Ghazali mengatakan, “ Kemudian aku masuk ke Syam, di sini aku bermukim hampir 2 tahun. Aku tidak mempunyai kesibukan selain ‘Uzlah (mengasingkan diri), Khalawat, riadho, mujahadah” (al-Munqiz hlm. 49).
 Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan Beliau di panggil kembali untuk mengajar di Nizzamiyah Nesapur. Beliau mengajar di sana kurang lebih sampai tahun503 H, selama itu beliu berkecipung dalam tasawwuf. Dalam fase Nesapur II inilah beliau banyak mengarang kitab.

Bertepatan fase Tus II, beliu menjalani dan mengajar hidup Sufi bersama kawan-kawannya juga memperdalamkan lagi kajian mengenai Al-Quraan dan Hadist. Beliau Wafat hari Senin, 14 Jumadil akhir 505 H/ 18 Desember 1111 H, dalam usia 53 tahun di makamkan di Tabaran, Tus Kurasan.
 Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Al-Ghazali beliau hdiup di masa kepemimpinan Nizam al-Mulk- yang menjadi wazir selama 30 tahun  pada masa pemerintahan sultan Alp Arslan Malik Syah yang berperan membawa Ababasyiah kepuncak kejayaan kembali. Pada masanya didirikan madrasah-madarasah Nizzamiah di Bakhdad dan di Nesapur yang di pimpin oleh Imam al-Haramain al-Juaini tempat Al-Ghazali belajar. Kebesaran Abbasiyah berubah darastis sepeniggal Nizam al-Mulk dan Malik Syah (485 H) diikuti pula prubahan drastis dalam kehidupan Al-Ghazali, akhirnya beliau menarik diri dari Bakhdad akhir tahun 488 H. untuk berkhalawat mencari ilmu yaqini di Syam dan sekitarnya.

Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits-hadist dan Al-Qur'an dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan
dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran.
Keseluruhan masa hidup iamam Al-Ghazali dibagi dalam tiga fase
1.   Priode Bakhdad dan sebelumnya: fase Tus, fase Jurjan, fase Nesapur, fase Mu’askar dan fase Bakhdad.
2.   Priode pasca Bakhdad: fase ‘Uzlah, Nesapur II, fase Tus II. Priode ini sering disebut priode pra-Sufi. 
3.   Priode Sufi.
   Kisah ini kami ambil dari berbagai sumber.      wallohu'a'lam....