Laman

Selasa, 28 Agustus 2012

Manakib Syeh Abdul Qodir Al Jailani


Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah Janki Dusat al-Jaylani. Al-Jaylani merupakan penisbatan pada Jil, daerah di belakang Tabaristan. Di tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jil, tempat ini disebut juga dengan Jaylan dan Kilan.


NASAB
Sayyidina Ali bin Abi Thalib
Sayyid Hasan
Sayyid Hasan al Mutsanna
Sayyid Abdullah al Mahdi
Sayyid Musa al Jun
Sayyid Abdullah
Sayyid Musa
Sayyid Dawud
Sayyid Muhammad
Sayyid Yahya Azzahid
Sayyid Abdullah
Sayyid Abi Shalih
Syekh Abdul Qadir al Jailani r.a.
Sayyid Abu Muhammad Abdul Qadir dilahirkan di Naif, Jailan, Iraq, pada bulan Ramadhan 470 H, bertepatan dengan th 1077 M. Ayahnya bernama Shalih, seorang yang taqwa keturunan Hadhrat Imam Hasan, r.a., cucu pertama Rasulullah saw, putra sulung Imam Ali ra dan Fatimah r.a., puteri tercinta Rasul. Ibu beliau adalah puteri seorang wali, Abdullah Saumai, yang juga masih keturunan Imam Husein, r.a., putera kedua Ali dan Fatimah. Dengan demikian, Sayid Abdul Qadir adalah Hasaniyin sekaligus Huseiniyin
.

MASA MUDA
Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakkur dan sering melakukan agar lebih baik, apa yang disebut ‘pengalaman-pengalaman mistik’. Ketika berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan keghairahan untuk bersama para orang saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghauts Al-A’dzam atau wali Ghauts terbesar.
Dalam terminologi kaum sufi, seorang Ghauts menduduki jenjang ruhaniah dan keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi ummat manusia setelah para nabi. Seorang ulama’ besar di masa kini, telah menggolongkannya ke dalam Shaddiqin, sebagaimana sebutan Al Qur’an bagi orang semacam itu. Ulama ini mendasarkan pandangannya pada peristiwa yang terjadi pada perjalanan pertama Sayyid Abdul Qadir ke Baghdad.
Diriwayatkan bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang sudah menjanda, membekalinya delapan puluh keping emas yang dijahitkan pada bagian dalam mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai bekal. Uang ini adalah warisan dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk menghadapi masa-masa sulit. Kala hendak berangkat, sang ibu diantaranya berpesan agar jangan berdusta dalam segala keadaan. Sang anak berjanji untuk senantiasa mencamkan pesan tersebut.
Begitu kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan, menghadanglah segerombolan perampok. Kala menjarahi, para perampok sama sekali tak memperhatikannya, karena ia tampak begitu sederhana dan miskin. Kebetulan salah seorang perampok menanyainya apakah ia mempunyai uang atau tidak. Ingat akan janjinya kepada sang ibu, si kecil Abdul Qadir segera menjawab: “Ya, aku punya delapan puluh keping emas yang dijahitkan di dalam baju oleh ibuku.” Tentu saja para perampok terperanjat keheranan. Mereka heran, ada manusia sejujur ini.
Mereka membawanya kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya, dan jawabannya pun sama. Begitu jahitan baju Abdul Qadir dibuka, didapatilah delapan puluh keping emas sebagaimana dinyatakannya. Sang kepala perampok terhenyak kagum. Ia kisahkan segala yang terjadi antara dia dan ibunya pada saat berangkat, dan ditambahkannya jika ia berbohong, maka akan tak bermakna upayanya menimba ilmu agama.
Mendengar hal ini, menangislah sang kepala perampok, jatuh terduduk di kali Abdul Qadir, dan menyesali segala dosa yang pernah dilakukan. Diriwayatkan, bahwa kepala perampok ini adalah murid pertamanya. Peristiwa ini menunjukkan proses menjadi Shiddiq. Andaikata ia tak benar, maka keberanian kukuh semacam itu demi kebenaran, dalam saat-saat kritis, tak mungkin baginya.

BELAJAR DI BAGHDAD
Selama belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, ia terpaksa mesti tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, ia cepat menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli hukum terbesar di masanya. Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang lebih dalam gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan di masa mudanya, kala tenggelam dalam belajar, ia gemar musyahadah*).
Ia sering berpuasa, dan tak mau meminta makanan dari seseorang, meski harus pergi berhari-hari tanpa makanan. Di Baghdad, ia sering menjumpai orang-orang yang berfikir serba ruhani, dan berintim dengan mereka. Dalam masa pencarian inilah, ia bertemu dengan Hadhrat Hammad, seorang penjual sirup, yang merupakan wali besar pada zamannya.
Lambat laun wali ini menjadi pembimbing ruhani Abdul Qadir. Hadhrat Hammad adalah seorang wali yang keras, karenanya diperlakukannya sedemikian keras sufi yang sedang tumbuh ini. Namun calon ghauts ini menerima semua ini sebagai koreksi bagi kecacatan ruhaninya.

LATIHAN-LATIHAN RUHANIAH
Setelah menyelesaikan studinya, ia kian keras terhadap diri. Ia mulai mematangkan diri dari semua kebutuhan dan kesenangan hidup. Waktu dan tenaganya tercurah pada shalat dan membaca Qur’an suci. Shalat sedemikian menyita waktunya, sehingga sering ia shalat shubuh tanpa berwudhu lagi, karena belum batal.
Diriwayatkan pula, beliau kerapkali khatam membaca Al-Qur’an dalam satu malam. Selama latihan ruhaniah ini, dihindarinya berhubungan dengan manusia, sehingga ia tak bertemu atau berbicara dengan seorang pun. Bila ingin berjalan-jalan, ia berkeliling padang pasir. Akhirnya ia tinggalkan Baghdad, dan menetap di Syustar, dua belas hari perjalanan dari Baghdad. Selama sebelas tahun, ia menutup diri dari dunia. Akhir masa ini menandai berakhirnya latihannya. Ia menerima nur yang dicarinya. Diri-hewaninya kini telah digantikan oleh wujud mulianya.

DICOBA IBLIS
Suatu peristiwa terjadi pada malam babak baru ini, yang diriwayatkan dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua tokoh keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara perlambang, suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan.
Misal, tentang bagaimana nabi Isa as digoda oleh Iblis, yang membawanya ke puncak bukit dan dari sana memperlihatkan kepadanya kerajaan-kerajaan duniawi, dan dimintanya nabi Isa a.s., menyembahnya, bila ingin menjadi raja dari kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban beliau, sebagai pemimpin ruhaniah. Yang kita tahu, hal itu merupakan suatu peristiwa perjuangan jiwa sang pemimpin dalam hidupnya.
Demikian pula yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Kala beliau kukuh berdakwah menentang praktek-praktek keberhalaan masyarakat dan musuh-musuh beliau, para pemimpin Quraisy merayunya dengan kecantikan, harta dan tahta. Dan tak seorang Muslim pun bisa melupakan jawaban beliau: “Aku sama sekali tak menginginkan harta ataupun tahta. Aku telah diutus oleh Allah sebagai seorang Nadzir**) bagi umat manusia, menyampaikan risalah-Nya kepada kalian. Jika kalian menerimanya, maka kalian akan bahagia di dunia ini dan di akhirat kelak. Dan jika kalian menolak, tentu Allah akan menentukan antara kalian dan aku.”
Begitulah gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat kemaujudan duniawi. Berkenaan dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang Syaikh Abdul Qadir Jailani. Versi pertama mengisahkan, bahwa suatu hari Iblis menghadapnya, memperkenalkan diri sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia membawa Buraq dari Allah, yang mengundangnya untuk menghadap-Nya di langit tertinggi.
Sang Syaikh segera menjawab bahwa si pembicara tak lain adalah si Iblis, karena baik Jibril maupun Buraq takkan datang ke dunia bagi selain Nabi Suci Muhammad saw. Setan toh masih punya cara lain, katanya: “Baiklah Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu.” “Enyahlah!, bentak sang wali.” Jangan kau goda aku, bukan karena ilmuku, tapi karena rahmat Allahlah aku selamat dari perangkapmu”.
Versi kedua mengisahkan, ketika sang Syaikh sedang berada di rimba belantara, tanpa makanan dan minuman, untuk waktu yang lama, awan menggumpal di angkasa, dan turunlah hujan. Sang Syaikh meredakan dahaganya. Muncullah sosok terang di cakrawala dan berseru: “Akulah Tuhanmu, kini Kuhalalkan bagimu segala yang haram.” Sang Syaikh berucap: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” Sosok itu pun segera pergi berubah menjadi awan, dan terdengar berkata: “Dengan ilmumu dan rahmat Allah, engkau selamat dari tipuanku.”
Lalu setan bertanya tentang kesigapan sang Syaikh dalam mengenalinya. Sang Syaikh menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang haramlah yang membuatnya tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan dari Allah.
Kedua versi ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan secara perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan kebanggaan akan ilmu. Yang lain dikaitkan dengan perjuangannya melawan kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan ruhaniahnya.
Kesadaran aka kekuatan dan kecemasan akan kesenangan merupakan kelemahan terakhir yang mesti enyah dari benak seorang salih. Dan setelah berhasil mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang layak menjadi pemimpin sejati manusia.

PANUTAN MASYARAKAT
Kini sang Syaikh telah lulus dari ujian-ujian tersebut. Maka semua tutur kata atau tegurannya, tak lagi berasal dari nalar, tetapi berasal dari ruhaninya.
Kala ia memperoleh ilham, sebagaimana sang Syaikh sendiri ingin menyampaikannya, keyakinan Islami melemah. Sebagian muslim terlena dalam pemuasan jasmani, dan sebagian lagi puas dengan ritus-ritus dan upacara-upacara keagamaan. Semangat keagamaan tak dapat ditemui lagi.
Pada saat ini, ia mempunyai mimpi penting tentang masalah ini. Ia melihat dalam mimpi itu, seolah-olah sedang menelusuri sebuah jalan di Baghdad, yang di situ seorang kurus kering sedang berbaring di sisi jalan, menyalaminya.
Ketika sang Syaikh menjawab ucapan salamnya, orang itu memintanya untuk membantunya duduk. Begitu beliau membantunya, orang itu duduk dengan tegap, dan secara menakjubkan tubuhnya menjadi besar. Melihat sang Syaikh terperanjat, orang asing itu menentramkannya dengan kata-kata: ” Akulah agama kakekmu, aku menjadi sakit dan sengsara, tetapi Allah telah menyehatkanku kembali melalui bantuanmu.”
Ini terjadi pada malam penampilannya di depan umum di masjid, dan menunjukkan karir mendatang sang wali. Kemudian masyarakat tercerahkan, menamainya Muhyiddin, ‘pembangkit keimanan’, gelar yang kemudian dipandang sebagai bagian dari namanya yang termasyhur. Meski telah ia tinggalkan kesendiriannya (uzlah), ia tak jua berkhutbah di depan umum. Selama sebelas tahun berikutnya, ia mukim di sebuah sudut kota, dan meneruskan praktek-praktek peribadatan, yang kian mempercerah ruhaniyah.




KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia kelima puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak – dua puluh putra, dan yang lainnya putri.
Empat putranya yang termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya, al:
Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan mengelola madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara, dan demikian termasyhur.
Syaikh Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang hakim besar. Dikenal juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang baik, dan juga Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.
Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim, sekaligus penghafal hadits. Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad, sebagaimana ayahnya.
Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke Damaskus, hingga wafat.
Tujuh puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syaikh Isa. Dua wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat terakhir sang wali, diriwayatkan oleh Syaikh Wahab. Syaikh Musa termaktub pada wacana ke tujuh puluh sembilan dan delapan puluh. Pada dua wacana terakhir nanti disebutkan, pembuatnya adalah Syaikh Abdul Razaq dan Syaikh Abdul Aziz, dua putra sang wali, dengan diimlakkan oleh sang wali pada saat-saat terakhirnya.

KESEHARIANNYA
Sebagaimana telah kita saksikan, sang wali bertabligh tiga kali dalam seminggu. Di samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan malam hari, ia mengajar tentang Tafsir Al Qur’an, Hadits, Ushul Fiqih, dan mata pelajaran lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum, yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum sholat Maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah sholat Maghrib, ia selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang tahun. Sebalum berbuka, ia menyilakan orang-orang yang butuh makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk makan malam bersama. Sesudah sholat Isya’, sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso di kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah kepada Allah – suatu amalan yang dianjurkan Qur’an Suci. Sebagai pengikut sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk mengabdi ummat manusia, dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk mengabdi Penciptanya.

KEDUDUKAN WALI QUTUB SYECH ABDUL QODIR JAILANI DIANTARA PARA WALI. DAN
BEBERAPA KAROMAH BELIAU

1. Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, di tahun 537 Hijrah, seorang lelaki dari kota Baghdad (dikatakan oleh sesetengah perawi bahawa lelaki itu bernama Abu Sa‘id ‘Abdullah ibn Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Baghdadi) datang bertemu asy-Syaikh Jilani, dan berkata, bahwa dia mempunyai seorang anak dara cantik berumur enam belas tahun bernama Fatimah. Anak daranya itu telah diculik (diterbangkan) dari atas anjung rumahnya oleh seorang jin.
Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menyuruh lelaki itu pergi pada malam hari itu, ke suatu tempat bekas rumah roboh, di satu kawasan lama di kota Baghdad bernama al-Karkh.
“Carilah bonggol yang kelima, dan duduklah di situ. Kemudian, gariskan satu bulatan sekelilingmu di atas tanah. Kala engkau membuat garisan, ucapkanlah “Bismillah, dan di atas niat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani ” Apabila malam telah gelap, engkau akan didatangi oleh beberapa kumpulan jin, dengan berbagai-bagai rupa dan bentuk. Janganlah engkau takut. Apabila waktu hampir terbit fajar, akan datang pula raja jin dengan segala angkatannya yang besar. Dia akan bertanya hajatmu. Katakan kepadanya yang aku telah menyuruh engkau datang bertemu dengannya. Kemudian ceritakanlah kepadanya tentang kejadian yang telah  menimpa anak perempuanmu itu.”
Lelaki itu pun pergi ke tempat tersebut dan melaksanakan arahan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani itu. Beberapa saat kemudian datanglah jin-jin yang mencoba menakut-nakuti, tetapi jin-jin itu tidak kuasa melintasi garis bulatan itu. Jin-jin itu datang bergantian, kelompok demi kelompok. Dan akhirnya, datanglah raja jin yang sedang menunggang seekor kuda beserta satu angkatan yang besar dan hebat.
Raja jin itu memberhentikan kudanya di luar garis bulatan itu dan bertanya:  “Wahai manusia, apakah hajatmu?” Lelaki itu menjawab, “Aku telah disuruh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani untuk bertemu denganmu.”
Begitu mendengar nama asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani diucapkan, serta merta raja jin itu turun dari kudanya dan terus mencium bumi. Raja jin itu kemudian duduk di atas bumi, disertai dengan seluruh anggota  rombongannya. Sesudah itu, raja jin itu telah bertanyakan masalah lelaki itu. Lelaki itu pun menceritakan kisah anak daranya yang diculik oleh seorang jin. Setelah mendengar cerita lelaki itu, raja jin itu pun memerintahkan agar dicari si jin yang bersalah itu. Beberapa waktu kemudian, dibawa ke hadapan raja jin itu, seorang jin lelaki dari negara Cina bersama-sama dengan anak dara manusia yang telah diculiknya.
Raja jin itu telah bertanya, “Kenapakah engkau sambar anak dara manusia ini? Tidakkah engkau tahu, dia ini berada di bawah naungan al-Quthb ?”
Jin lelaki dari negara Cina itu telah mengatakan yang dia telah jatuh berahi dengan anak dara manusia itu. Raja jin itu memerintahkan agar dipulangkan perawan itu kepada bapanya, dan jin dari negara Cina itu dikenakan hukuman pancung kepala.
Lelaki itu pun mengatakan rasa takjubnya dengan segala perbuatan raja jin itu, yang sangat patuh kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani.
Raja jin itu berkata pula, “Sudah tentu, karena asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bisa melihat dari rumahnya semua kelakuan jin-jin yang jahat. Dan mereka semua sedang berada di sejauh-jauh tempat di atas bumi, karena telah lari dari sebab kehebatannya. Allah Ta’ala telah menjadikan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bukan saja al-Qutb bagi umat manusia, bahkan juga ke atas seluruh bangsa jin.”
2. Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, istri-istri asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bertemu dengannya dan berkata, “Wahai suami kami yang terhormat, anak lelaki kecil kita telah meninggal dunia. Namun kami tidak melihat setitik air mata pun yang mengalir dari mata kekanda dan tidak pula kekanda menunjukkan tanda kesedihan. Tidakkah kekanda menyimpan rasa belas kasihan terhadap anak lelaki kita, yang merupakan sebagian darah daging kekanda sendiri? Kami semua sedang dirundung kesedihan, namun kekanda masih juga meneruskan pekerjaan biasa kekanda, seolah-olah tiada sesuatu pun yang telah berlaku. Kekanda adalah pemimpin dan pelindung kami di dunia dan di akhirat. Tetapi jika hati kekanda telah menjadi keras sehingga tiada lagi menyimpan rasa belas kasihan, bagaimana kami dapat bergantung kepada kekanda di Hari Pembalasan kelak?”
Maka berkatalah asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Wahai isteri-isteriku yang tercinta! Janganlah kamu semua menyangka hatiku ini keras. Aku menyimpan rasa belas kasihan di hatiku terhadap seluruh makhluk, sampai terhadap orang-orang kafir dan juga terhadap anjing-anjing yang menggigitku. Aku berdoa kepada Allah agar anjing-anjing itu berhenti menggigit, bukan karena aku takut digigit, tetapi aku takut nanti manusia lain akan melontar anjing-anjing itu dengan batu. Tidakkah kamu mengetahui bahwa aku mewarisi sifat belas  kasihan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diutus Allah sebagai rahmat untuk sekelian alam?”
Maka wanita-wanita itu telah berkata pula, “Kalau benar kekanda mempunyai rasa belas kasihan terhadap seluruh makhluk Allah, sampai kepada anjing-anjing yang menggigit kekanda, kenapa kekanda tidak menunjukkan rasa sedih atas kehilangan anak lelaki kita yang telah meninggal ini?”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menjawab, “Wahai isteri-isteriku yang sedang berdukacita, kamu semua menangis karena kamu semua merasa telah berpisah daripada anak lelaki kita yang kamu semua sayangi. Tetapi aku sentiasa bersama dengan orang-orang yang aku sayangi. Kamu semua telah melihat anak lelaki kita di dalam satu ilusi yang disebut dunia. Kini, dia telah meninggalkannya lalu berpindah ke satu tempat yang lain. Allah telah berfirman (Surat al-adid, ayat 20) “dan tiadaklah kehidupan dunia ini melainkan hanyalah satu ilusi saja.” Memang dunia ini adalah satu ilusi, untuk mereka yang sedang terlena. Tetapi aku tidak terlena – aku melihat dan waspada. Aku telah melihat anak lelaki kita sedang berada di dalam bulatan masa, dan kini dia telah keluar darinya. Namun aku masih dapat melihatnya. Dia kini berada di sisiku. Dia sedang bermain-main di sekelilingku, sebagaimana yang pernah dia lakukan pada masa dahulu. Sesungguhnya, jika seseorang itu dapat melihat Kebenaran melalui mata hatinya, sama dengan yang dilihatnya masih hidup ataupun sudah mati, maka Kebenaran itu tetap tidak akan hilang.”
3. Telah bercerita asy-Syaikh Abduh Hamad ibn Hammam:
Pada mulanya aku memang tidak suka kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Walaupun aku merupakan seorang saudagar yang paling kaya di kota Baghdad waktu itu, aku tidak pernah merasa tenteram ataupun berpuas hati.
Pada suatu hari, aku telah pergi menunaikan solat Jum’at. Ketika itu, aku tidak mempercayai tentang cerita-cerita karomah yang dikaitkan pada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Sesampainya aku di masjid itu, aku dapati beliau telah ramai dengan jamaah. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, dan kudapati betul-betul di hadapan mimbar.
Di kala itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani baru saja mulai untuk khutbah Jumaat. Ada beberapa perkara yang disentuh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang telah menyinggung perasaanku. Tiba-tiba, aku terasa hendak buang air besar. Untuk keluar dari masjid itu memang sukar dan agak mustahil. Dan aku dihantui perasaan gelisah dan malu, takut-takut aku buang air besar di sana di depan orang banyak. Dan kemarahanku terhadap asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun bertambah dan memuncak.
Pada saat itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah turun dari atas mimbar itu dan telah berdiri di hadapanku. Sambil beliau terus memberikan khutbah, beliau telah menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku sedang berada di satu tempat yang lain, yakni di satu lembah hijau yang sangat indah. Aku lihat sebuah anak sungai sedang mengalir perlahan di situ dan keadaan sekelilingnya sunyi sepi, tanpa kehadiran seorang manusia.
Aku pergi membuang air besar. Setelah selesai, aku mengambil wudlu. Apabila aku sedang berniat untuk pergi bersolat, dan tiba-tiba diriku telah berada ditempat semula di bawah jubah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Dia telah mengangkat jubahnya dan menaiki kembali tangga mimbar itu.
Aku sungguh-sungguh merasa terkejut. Bukan karena perutku sudah merasa lega, tetapi juga keadaan hatiku. Segala perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan-perasaan jahat yang lain, semuanya telah hilang.
Selepas sembahyang Jum’at berakhir, aku pun pulang ke rumah. Di dalam perjalanan, aku menyadari bahwa kunci rumahku telah hilang. Dan aku kembali ke masjid untuk mencarinya. Begitu lama aku mencari, tetapi tidak aku temukan, terpaksa aku menyuruh tukang kunci untuk membuat kunci yang baru.
Pada keesokan harinya, aku telah meninggalkan Baghdad dengan rombonganku karena urusan perniagaan. Tiga hari kemudian, kami telah melewati satu lembah yang sangat indah. Seolah-olah ada satu kuasa ajaib yang telah menarikku untuk pergi ke sebuah anak sungai. Barulah aku teringat bahwa aku pernah pergi ke sana untuk buang air besar, beberapa hari sebelum itu. Aku mandi di anak sungai itu. Ketika aku sedang mengambil jubahku, aku telah temukan kembali kunciku, yang rupa-rupanya telah tertinggal dan telah tersangkut pada sebatang dahan di situ.
Setelah aku sampai di Baghdad, aku menemui asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani dan menjadi anak muridnya.
4. Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berjalan-jalan dengan beberapa muridnya di padang pasir. Waktu itu hari sangat panas, dan mereka sedang berpuasa. Oleh itu mereka merasa letih dan dahaga.
Tiba-tiba, sekumpulan awan muncul, yang melindungi mereka dari panas terik matahari. Setelah itu, sebatang pohon kurma dan sebuah kolam air muncul di hadapan mereka. Mereka telah terpesona. Kemudian satu cahaya besar yang berkilauan, telah muncul dari celah awan di hadapan mereka dan kedengaranlah satu suara dari dalamnya yang telah berkata, “Wahai ‘Abdul Qadir, akulah Tuhanmu. Makan dan minumlah, karena pada hari ini, telah aku halalkan untuk engkau apa yang telah aku haramkan untuk orang-orang lain.”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun melihat ke arah cahaya itu dan berkata, “Aku berlindung dengan Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Tiba-tiba, cahaya, pohon kurma dan kolam itu semuanya hilang dari pandangan mata. Maka kelihatanlah Iblis di hadapan mereka dengan bentuk rupanya yang asli.
Iblis bertanya, “Bagaimanakah engkau dapat mengetahui itu sebenarnya adalah aku?”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah menjawab, “Syariat itu sudah sempurna, dan tidak akan berubah sampai Hari Kiamat. Allah tidak akan mengubah yang haram kepada yang halal, walaupun untuk orang-orang yang menjadi pilihanNya (waliNya).”
Maka Iblis pun berkata lagi untuk menguji asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Aku telah mampu menipu 70 kaum daripada golongan as-salikin (yakni orang-orang yang menempuh jalan kerohanian) dengan cara ini. Ilmu yang engkau miliki lebih luas daripada ilmu mereka. Apakah hanya ini jumlah pengikutmu? Sudah sepatutnya semua penduduk bumi ini menjadi pengikutmu, karena ilmumu menyamai ilmu para nabi.”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menjawab, “Aku berlindung dengan Allah Yang Maha Mendengar, Yang Maha Mengetahui, daripada engkau. Bukanlah karena ilmuku aku terselamat, tetapi karena rahmat daripada  Allah, Pengatur sekelian alam.”
Kedua Telapak Kakiku ada di punggung setiap Wali Allah Bismilahirrohmaanirrohiim Alhamdu Lilaahi Robbil”aalamiin Asholaatu Wasalaamu ‘ala Sayyidil Mursaliin, Sayidinaa wa Maulanaa Muhammadin wa ‘alaa AaliHi wa ShohbiHi wa ‘alainaa ma’ahum AmiinB Al-Hafid Abu Izza Abdul Mughist bin Harb Al-Baghdadi dan yang lainnya berkata ”
 Kita biasa hadir di majelis Syeh Abdul Qodir di ribathnya di Baghdad. Umumnya yang menghadiri majelis beliau adalah para Syaikh Iraq diantaranya ; Syaikh Alibin Hiti, Baqa bin Bathu’, Abu Sa’id Al-Qailawi, Musa bin Mahin , Abu NajibAssahrawardi, Abu karam, Abu Umar, Utsman Al Qursyi, Makarim al-Akbar, Mathar, Jaakir, Khalifah, Shidqah, Yahya Murtasyi, Ad-diya Ibrahim al-Juwaini, Abu Abdulah Muhammad al-Qazwaini, dan masih banyak lagi selanjutnya klik di siniAbu Ustman, Umar Ak-Batiahi, Qadib Al- Baan, Abul Abas Ahmad Al-Yamani, Abu Abas Ahmad Al-Qazwaini beserta muridnya Daud yang selalu melaksanakan Shalat fardhu di Makkah, Abu Abdulah Muhammad Al-Khas, Abu Umar, Ustman Al-Iraqi As-Syauki, yang konon merupakan salah seorang Rijal Ghaib ….dan lain sebagainya. Dalam kondisi Spiritual sang Syaikh berkata “Kakiku ini ada di punggung setiap Wali”.
 Begitu mendengar tersebut Syeh Ali ASl-Hiti langsung bangkit dan meletakkan kaki Syeh Abdul Qodir Al-Jailani di pundaknya. Begitu pula dengan yang lain, mereka telah mengulurkan pundaknya untuk melaksanakan hal tersebut. Syeh Ali bin Abi Barakat Shakr bin Shakr meriwayatkan bahwa ia pernah mendengar ayhnya pernah berkata “Aku penah berkata kepada pamanku Syeh Uday bin Musafir ‘Sepanjang pengetahuan anda selain Syeh Abdul Qodir Al-Jailani adakah para ulama terdahulu yang berkata ‘Kedua kakiku ini ada di pungggung setiap Wali Allah ?’
 “Tidak” jawabnya."
Jika memang demikian sambungku, lalu apa makna dari perkataan tersebut ?’
Beliau berkata “itu artinya Syeh Abdul Qodir telah mencapai maqom wali Afrod .
‘Tapi bukankah di setiap generasi terdapat Wali Afrad bantahku lagi.
“Benar tapi tidak ada seoranpun yang diperintahkan oleh Allah untuk mengucapkan kalimat ini” jawabnya. ‘Jadi memang beliau diperintahkan untuk mengucapkan kalimat tersebut ? tanyaku. 
‘ya’ jawab beliau. 
Kemudian beliau berkata ‘karena adanya perintah tersebut mereka meletakkan kepala . Bukankah engkau mengetahui bahwa para Malaikat as bersujud kepada Adam karena adanya perintah krpada mereka untuk melaksanakan hal tersebut. 
Syeh Baqa bin Bathu An-Nahri Al-Maliki berkata ” Syeh Abdul Qodir berkata’kedua kakiku ini berada di setiap punggung Wali Allah’”. 
Berkenaan dengan itu Syeh Ibrahim dan Syeh Abi Hasan Ali Arrifa’i al-Bathiahi mwriwayatkan" 
Bahwa ayahnya pernah bertanya kepada pamannya Syeh Ahmad Arrifa’i ‘apakah pernyataan Syeh Abdul Qodir ‘ kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap wali Allah berdasarkan perintah atau tidak?’ Pernyataan tersebut berdasarkan perintah jawab beliau. 
Dalam sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada Syeh Abi Bakaw bin Hawwar menyatakan bahwa beliau pernah berkata di majlisnya”
Nanti akan muncul di Iraq seorang non arab yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan manusia. Namanya Abdul Qodir dan tinggalnya di Baghdad, Dia akan berkata ” Kedua kakiku ini berada di setiap punggung Wali Allah” Dan setiap wali akan mengakui bahwa beliau adalah wali Afrad pada zamannya. Sulthon Auliya dan Syaikh Islam Izzuddin bin Abdissalam berkata, ” Belum pernah kemutawatiran riwayat tenteang sebuah karomah yang sampai kepada kami sebanding dengan kemutawatiran karomah Syeh Abdul Qodir Al Jailani, 
Beliau adalah orang yang berpegang teguh kepada Syari’ah , menyeru orang-orang untuk melaksanakan syari’ah, dan menghindarkan diri dari yang dilarang olehNya. Beliau berbaur dengan masyarakat sambil terus menerus beribadah dan beliau bisa mencampurkannya dengan sesuatu yang menyibukkan beliau seperti menikah dan memiliki keturunan, Barang siapa yang mengikuti jalan ini maka ia lebih sempurna daripada yang lain. Ditambah lagi apa yang dinyatakan fdi atas merupakan karakter dari Rosulullohi SAW. 
Diantara karomah beliau adalah pernyataan beliau ‘Kedua telapak kakiku ini berada di setiap punggung Wali Allah. Hal tersebut dikarenakan kesempurnaan beliau tidak tertandingi pada masa itu yang tidak diragukan lagi menjadikannya berhak mendapatkan kehormatan tersebut. 
Syeh Mathar meriwayatkan “Suatu hari ketika saya sedang berada di Zawiyah Syeh Abu Wafa’, guruku, di daerah Qailamaya beliau berkata kepadaku ‘Ya Mathar tutup pintu, jika ada seorang pemuda Ajam (non Arab) datang memohon untuk masuk maka jangan diberi dia ijin’. Akupun melaksanakan perintah beliau. ternyata yang datang adalah Syeh Abdul Qodir yang pada waktu itu masih seorang pemuda. Beliau mohon ijin untuk masuk namun Syeh Abu Wafa’ tidak mengijinkannya masuk, Saat itu aku melihat Syeh Abu Wafa’ berjalan hilir mudik dalam zawiyah dengan gelisah. Setelah itu beliau mengijinkannya untuk masuk. 
Ketika Syeh Abu Wafa’ melihat Syeh Abdul Qodir beliau melangkah mendekat dan memeluknya beberapa lama seraya berkata ‘Abdul Qodir‘ demi Yang Maha Agung aku tidak mengijinkanmu masuk pertama kali bukan karena keinginan zalim terhadap hakmu akan tetapi karena takut terhadap dirimu. Akan tetapi setelah aku ketahui bahwa engkau ingin belajar kepadaku dan menaatiku, baru aku merasa aman. 
Syaikh Abdurrahman At-Tahfsunaji berkata “Saat Syeh Abdul Qodir datang ke Zawiyah Tajul ‘Arifin Abu Wafa’ beliau berkata kepad para muridnya ‘ Berdiri dan sambutlah Wali Allah’-
Pernyataan ini mungkin terjadi pada saat Syeh Abdul Qodir sedang berjalan menuju beliau atau dikeluarkan kepada mereka yang belum bediri ketika Syeh Abdul Qodir datang- Ketika beliau megulang-ulang perintah tersebut, seorang muridnya bertanya kepada beliau sebab pernyataan tersebut. Beliau menjawab“ Pada saatnya nanti pemuda ini akan menjadi sandaran baik golongan khos maupun awam. 
Aku seakan akan melihatnya sedang berbicara di depan khalayak ,”Kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap Wali Allah”. dan pernyataan itu benar adanya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa beliau adalah Qutb mereka pada saat itu. Barang siapa berjumpa dengannya pada sat itu, berkhidmadlah kepadanya. 
Syaikh musallamah bin Naimah As-Saruji ketika ditanya tentang siapakah Qutb itu, beliau menjawab, “Beliau sekarang ada di Makkah, bersembunyi dan hanya diketahui oleh orang-orang saleh. Dan akn muncul di sini (Iraq) seorang pemuda ‘ajam yang mulia bernama Abdul Qodir Akan tampak dari beliau beberapa Karomah yang luar biasa . Beliau adalah Qutb waktunya dan Ghauts Zamannya. Baliau akn berkata di hadapan orang-orang “Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah”, dan para Wali akan merendahkan punggungnya kepada beliau. Allah akan memberikan manfaat darinya dan dari karomahnya kepada siapa saja yang mempercayainya. 
Syaikh Ali Al-Hiti meriwayatkan, “ketika Syaikh Abu Wafa sedang berbicara di dalam majlis, masuklah Syeh Abdul Qodir . beliau memerintahkan para murid untuk mengeluarkannya dan meneruskan ceramahnya. Kemudian untuk yang ke tiga kalinya Syeh Abdul Qodir kembali masuk ke pengajian tersebut. kali ini Syaikh Abu Wafa’ turun dari kursinya tempat menyampaikan pengajaran lalu memeluk beliau dan menciumi dahinya seraya berkata,’Para penduduk Baghdad, berdirilah demi Wali Allah ini. Perintahku untuk mengusirnya tidak lain agar kalian mengetahuinya bukan untuk menghinanya. Betapa mulia seorang hamba yang kibaran panji di atas kepalanya melingkupi timur dan barat’. Kemudian beliau berkata kepada Syeh Abdul Qodir , “Abdul Qadir, masa sekarang milik kami,dan kelak akan menjadi milikmu. Aku serahkan kepadamu Iraq. Semua ayam akan berkokok dan berhenti kecuali kokokan ayammu yang tidak akan berhenti hingga hari kiyamat’. Setelah itu beliau memberikan sajadah, baju, tasbih , tempat makan dan tongkatnya kepada Syeh Abdul Qodir. ‘Ambil semua itu dengan bai’at saran seseorang kepadanya. Namun Syaikh Abu Wafa’ berkata, di dahinya terdapat bai’at Al-Makhzuumi’. 
Setelah majlis tersebut selesai, Taajul ‘arifiin Syaikh Abu Wafa’ turun dan duduk di akhir tangga tempatnya mencapaikan ceramah seraya menggenggam tangan Syeh Abdul Qodir dan berkata, ‘sekarang adalah waktumu.’ Jika beliau datang aku selalu teringat akan kisah ini dan kemuliaan beliau’. 
Syaikh Umar Al-Bazaar berkata, “tasbih yang diberikan Syaikh Abu Wafa kepada beliau dapat berputar sendiri biji-bijinya jika diletakkan di atas tanah. Setelah bellliau meninggal dunia, tasbih tersebut menjadi milik Syaikh Ali bin Al-Hiti. Begitu juga dengan tangan orang yang menyentuh tempat makan yang diberikan Syaikh Abu Wafa’ kepada beliau akan bergetar hingga bahunya”. 
Syaikh Muhammad Yusuf Al-Aquuli berkata”Aku berniat berziarah kepada Syeh Uday Bin Musafir. Ketika aku menghadap, beliau bertanya kepadaku ‘dari mana anda ?’Aku adalah salah seorang murid Syeh Abdul Qodir ‘ Jawabku. Mendengar jawabanku beliau berkata ‘Bagus, Qutb-Al arda (bumi) yang dengan pernyataannya “Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah “ menjadikan 300 Wali dan 700 orang-orang Gaib yang berjalan di bumi maupun yang terbang, mengulurkan pundak mereka kepadanya dalam satu waktu”. 
Kemudian aku menziarahi Syeh Ahmad Rifa’i dan menceritakan kepadanya apa yang dikatakan oleh Syeh Uday saat itu dan beliau berkata “sungguh tepat apa yang disampaikan beliau (Syeh Uday). 
Syaikh Majid Al Kurdi berkata,”saat Syeh Abdul Qodir mengatakan pernyataan di atas, semua wali di bumi pada saat itu merendahkan lehernya sebagai tanda pengakuan mereka terhadap beliau. Dan tidak ada segolongan jin soleh pun yang tidak datang menghadapnya untuk bertobat dan mengakui beliau hingga mereka berdesak-desakan di pintu rumahnya. 
Riwayat ini disetujui oleh Syaikh Mathar. Kemudian beliau berkata, “Aku bertanya kepada Syaikh Abdullah bin Sayyidina Syeh Abdul Qodir Al-Jailani ,’apakah engkau menghadiri majlis saat ayahmu berkata ,’kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap wali Allah , ‘ya’ jawabnya. Kemudian ia berkata,’ yang hadir pada saat itu sekitar 50 orang syaikh’. Ketika beliau masuk ke dalam rumahnya, yang tersisa hanya Syaaikh Makarim, Syaikh Muhammad Al-Khas, dan Syaikh Ahmad Al-‘Aarini. ‘kamipun duduk dan berbincang-bincang’ ujarnya. 
Syaikh Makarim berkata, “Allah memperlihatka kepadaku pada saat itu semua orang yang memiliki panji kewalian di muka bumi mengakui panji kequthuban di tangan beliau dan mahkota ghoutsiah di atas kepala beliau dan jubah otoritas total atas segala yang wujud/eksis , untuk mengangkatnya menjadi Wali atau menurunkannya sesuai syariat dan hakikat. Dan aku mendengar beliau berkata ,”kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap Wali Allah yang akan menundukkan kepala dan merendahkan dirinya kepada beliau bahkan termasuk di dalamnya para abdal yang sepuluh, usltan masa tersebut Masih berkenaan dengan pernyataan Sang Syaikh, Syeh Abu Sa’id Al-Qailawi berkata “ketika Syeh Abdul Qodir mengatakan ‘kedua telapak kakiku ini ada di setiap punggung Wali Allah’ , Allah Tajalli dalam jiwa beliau. Kemudian sekelompok malaikat datang membawakan jubah kebesaran Rosululloh SAW untuk dipakaikan kepada beliau di hadapan para Wali terdahulu maupun yang akan datang.-yang hidup datang dengan jasadnya, yng sudah meninggal datang dengan ruhnya. Para malaikat dan Rijal Al-Ghaib mengelilingi majlisnya dan berbaris ber shaf-shaf di udara , begitu banyak jumlahnya hingga seluruh ufuk penuh dengan kehadiran mereka. Dan semua Wali yang ada di muka bumi ini menundukkan kepala untuk beliau”. 
Syeikh Kholifah Al Akbar bercerita “Saat aku bertemu dengan Rosululloh SAW dalam mimpi aku bertanya kepad beliau ,’ Yaa Rosululloh Syeh Abdul Qodir telah berkata ‘Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah ‘ Beliau menjawab ‘Yang diucapkan oleh beliau adalah benar. Bagaimana mungkin tidak benar apabila dia adalah Qutb (para wali) dan aku (Rosululloh SAW yang mengawasinya. 
Di hari Jum’at 3 Ramadan 599 H. seorang pria datang menghadap Syeh Hayyan bin Qis Al-Harani di masjid Al Hiran memohon Khirqah (jubah kesufian tanda bai’at) kepada beliau. “Dalam dirimu talah terdapat tanda selain aku’ kata beliau kepadanya. orang itu berkata, ‘benar aku pernah bertemu Syeh Abdul Qodir namun tidak berbai’at kepada beliau”. 
Syeh Hayyan berkata “selama beberapa waktu kita telah hidup di bawah bayangan kehidupan Syeh Abdul Qodir Al Jailani .telah kita meminum gelas-gelas kebahagiaan dari mata air pengetahuan beliau. dan Dari Beliau diperoleh rahasia para Wali menurut tingkatan mereka. 
Suatu saat Syeh Lulu Al Armani ketika bertemu dengan Syeh Atha’ Al-Masri , beliau meminta untuk menyebutkan para gurunya. Syeh Lulu berkata ,”Atha’ guruku adalah Syeh Abdul Qodir Al Jailani yang menyatakan “kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah .Dan pada saat beliau selesai mengucapkan hal tersebut tercatat 313 Wali Allah dari segala penjuru dunia menundukkan kepala meeka , 17 orang berada di Haramain , 60 orang di Iraq, 40 orang di negeri non Arab, 40 orang di Syam, 20 orang di mesir, 27 orang di Maroko, 11 orang di Habsyah, 7 orang di tembok penahan Ya’juj dan Ma’juj, 7 orang di Wadi Sarandib, 47 orang di gunung Qof, 20 orang di daerah teluk. Dan banyak yang besaksi bahwa pernyataan tersebut diucapkan berdasarkan perintah Allah. 
Kemudian beliau melanjutkan.”Aku sendiri melihat para Wali di timur maupun di barat merundukkan kepala mereka kepada Syeh Abdul Qodir kecuali seorang Wali di daerah luar Arab yang kemudian hilang tanpa bekas. Diantara mereka yang merundukkan kepalanya kepada beliau adalah Syeh Baqa’ bin Bathu’ , Syeh Abu Sa’id Al-Qaylawy , Syeh Ahmad Arrifa’y yang dalam sebuah riwayat memanjangkan lehernya dan melihat punggungnya seraya berkata,’Memang ada di punggungku’. Saat di tanya mengenai perkataannya itu, beliau berkata,’saat ini di Baghdad , Syeh Abdul Qodir sedang berkata ,’ Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah‘. Termasuk diantara mereka yang menundukkan kepala kepada beliau adalah Abdurrahman Athafsunaji, Abu Najib Assahrawardi, yang mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendengar hal tersebut seraya berkata’di atas kepalaku. Musa Al Jazuli, Musa Al Harani, Abu MUhammad bin ‘Abd, Abu Umar, Ustman bin Marzuq , Abu Al-Karam , Majid Al Kurdi , Suwaid Annajari, 
Ruslan Addimasqi, yang menundukkan kepalanya di Damaskus seraya berkata kepada para muridnya ‘Allah memiliki mutiara yaitu orang yang minum dari lautanAl Quds dan duduk di permadani ma’rifah serta menyaksikan keMaha Agungan Rububiyah / ketuhanan dan ke Maha Besaran Wahdaniyah (ketunggalan). Sifat (kemanusiaannya) lenyap saat menyaksikan keMaha Besaran Nya Eksistensinya lebur saat menyaksikan ke-WibawaanNya Maka dipakaikannya kepadanya jubah keacuhan (terhadap dunia) dan ditempatkan di puncak tangga Al-Inayah hingga beliau mencapai maqom yang telah ditentukan dan didudukkan di puncak ruh Azaly . Dia berbicara dengan hikmah dari lembaran-lembaran cahaya, bercampur dengan kepekatan rahasiaNya. Hilang kesadarannya ketika berada di Hadirat Allah dan tidak pernah terputus denagn Allah ketika Ia kembali sadar. Berdiri dengan penuh rasa malu, berbicara dengan tawadhu’ mendekatkan diri dengan penuh kerendahan, berbicara dengan kemuliaan , baginya ucapan selamat dan salam terbaik adalah berasal dari Tuhannya. ‘Apakah di dunia ini ada orang yang memiliki ciri seperti itu ?’ tanya seseorang kepada beliau’Ada, dan Syeh Abdul Qodir pemimpin mereka’jawab beliau. 
Di Maroko (Maghrib) Syaikh Abu Madin (setelah mendengarkan pernyataan Syaikh Abdul Qadir ) memanjangkan lehernya dan berkata, ‘benar dan aku salah seorang dari mereka. Yaa Allah aku bersaksi kepadaMu dan kepada para MalaikatMu bahwa aku mendengar dan patuh’. 
Kemudian termasuk diantara mereka adalah Syaikh Abu Na’im AL-Maghribi, Syaikh Abu Umar dan Utsman bin Marwazih Al-Bathiahi, Syaikh Makarim, Syaikh Khalifah, Syaikh Uday bin Musafir. Pada saat beliau mengucapkannya banyak orang yang melihat rombongan orang yang terbang di udara untuk menghadap beliau berdasarkan perintah Khidir as. Dan setelah mengucapkan selamat, seorang wali berkata kepada beliau, "wahai raja zaman, penguasa tempat, pelaksana perintah Sang Maha Pengasih, pewaris kitab Allah dan wakil RasuluLlah SAW, yang dianugerahi langit dan bumi, yang menjadikan seluruh orang pada masanya sebagai keluarganya, yang doanya dapat menurunkan hujan, dan berkahnya menghilangkan mendung, yang menjadikan kepala orang yang menghadapnya tertunduk, yang makhluk gaib hadir di hadapannya sebanyak 40 shaf, dengan 70 orang Gaib pada setiap shaf, yang ditelapak tangannya tertulis bahwa dia tidak akan mendapat makar dari Allah, dan di umurnya yang ke dua puluh para malaikat berputar di sekelilingnya serta menyampaikan kabar gembira kewalian beliau’. 
Pada suatu masa, air sungai dajlah meluap dan membanjiri Baghdad. Orang-orangpun mendatangi beliau memohon pertolongannya. Sambil membawa tongkatnya beliau berjalan menuju tepian sungai dan menancapkannya di batas air seraya berkata, “cukup sampai di sini” dan saat itu pula air sungai tersebut menyurut. 
Syaikh Abdullah Dzayyal berkata, “suatu saat ketika berada di madrasah beliau di tahun 560 H aku melihat beliau memegang tongkat. Saat itu aku berharap aku dapat melihat karamah yang keluar dari tongkat tersebut. Beliau kemudian memandang ke arahku sambil tersenyum lalu menancpakan tongkatnya ke tanah, seketika itu pula cahayanya menyembur dari tanah, menembus awan dan menjadikan langit terang benderang beberapa saat. Beliau kemudian mencabutnya kembali dan keadaan pun kembali seperti semula. Beliau berkata kepadaku, ‘Dayyal, bukankah ini yang engkau kehendaki’”. 
Syaikh Abu Taqy Muhammad bin Al-Azhar Ash-Shariifni berkata, “selama setahun penuh aku memohon kepada Allah untuk dapat melihat salah seorang dari rijal Al-Ghaib. Pada suatu malam aku bermimpi bertemu dengan seorang pria saat sedang menziarahi makam Imam Ahmad bin Hambal. Terbetik dalam hatiku bahwa beliau adalah salah seoraang rijal Al-Ghaib. Akupun terbangun dan dengan harapan dapat bertemu dengannya akupun pergi ke makam Imam Ahmad bin Hambal . akupun bertemu dengan orang yang ada di dalam mimpiku di sana. Saat beliau keluar aku mengikutinya hingga sampai ke tepi sungai Dajjlah. Di tepian tersebut beliau menarik tepian sungai tersebut hingga keduanya hanya berjarak satu langkah dan menyeberanginya. Aku memohon kepadanya untuk berhenti dan berbicara kepadaku. Aku bertanya, “apa mazhabmu ?”. “Aku bermazhab Hanafi, seorang muslim dan bukan musyrik”. Jawab beliau. Kemudian hatiku seakan – akan berkata, ‘pergi ke Syaikh Abdul Qadir dan ceritakan apa yang engkau alami’. Akupun mengunjungi sang Syaikh. Setibanya aku di pintu madrasah, beliau berkata dari dalam rumah tanpa membuka pintunya, ‘yaa Muhammad, saat ini hanya dialah seorang wali yang bermazhab Hanafi di muka bumi ini’. 
Suatu saat beliau naik ke atas kursi tempat beliau mengajar, tidak berbicara dan tidak menyuruh pembaca kitab untuk membacakannya. Dan orang-orang yang hadir memasuki kondisi ektase dan perkara yang agung memasuki mereka. Salah seorang yang hadir bertanya dalam hati, “apa ini ?”. beliau berkata, “seorang muridku datang dengan satu langkah dari baitul Muqaddas kemari untk bertaubat dan semua yang hadir pada saat ini dianggap sebagai tuan rumahnya. “dalam hatinya orang tersebut berkata, “jadi siapa yang mengalami kondisi seperti ini adalah mereka yang bertaubat ?”. pernyataan tersebut dijawab sang Syaikh, jangan engkau berharap kepadanya. Dia datang kepadaku dan memintaku untuk mengajarinya jalan untuk mencinta”. 
Pernah suatu saat Syaikh Abdul Qadir berjalan di atas udara di depan banyak orang dan berkata, “Matahari selalu menyampaikan salam kepadakusetiap ia ingin terbit. Demikian pula halnya dengan hari, bulan dan tahun. Mereka –juga- menginformasikan kepadaku tentang apa tentang apa yang terjadi. Di beberkan kepadaku Lauh Al-MahfudzI tentang siapa yang mendapatkan kesenangan dan siapa yang mendapatkan kesusahan. Aku tenggelam dalam lautan Ilmu dan Musyahadah –Nya. Aku adalah sandaran kalian dan wakil RasuluLlah SAW di muka bumi”. 
Syaikh Abdul Qadir berkata, “Setiap wali berada di bawah telapak kaki para Nabi dan aku berada di bawah telapak kaki kakekku RasuluLlah SAW. Semua tempat yang aku injak maka bekasnya akan emnjadi telapak kaki Nabi.” Syaikh Abdul Qadir berkata, “Aku adalah Syaikh bagi para manusia dan jin.” 
Di lain kesempatan beliau berkata, “jika kalian bertanya kepada Allah, tanyakan aku kepadaNya. Wahai penduduk bumi, dari timur hingga barat, kemarilah dan belajar dariku. 
Wahai penduduk Iraq, Ahwal –kondisi spiriutal- yang kumiliki seperti baju yang tergantung di rumah. Baju manasaja yang engkau pilih akan aku pakaikan kepadamu. Hendaknya kalian menyampaikan salam atau akan aku bawakan pasukan tiada tanding. Hai saudara, berkelanalah 1000 tahun agar engkau dapat mendengarkan perkataanku. 
Saudara, kewalian dan beberapa derajad spiritual ada di sini, di majlisku. Semua Nabi yang diciptakan Allah dan semua wali menghadiri majlisku baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Yang masih hidup dengan fisik mereka sedangkan yang sudah meninggal dunia dengan rohnya. 
Saudara sekalian tanyakan diriku kepada Munkar dan Nakir ketika mendatangi kalian (di kubur) maka mereka akan menceritakan diriku kepada kalian.” 
Abu Ridho, pelayannya meriwayatkan, dalam suatu kesempatan Syaikh Abdul Qadir berbicara tentang roh. Di tengah penjelasan, beliau diam, duduk dan kemudian bangkit kembali seraya bersenandung, Rohku telah diciptakan dengan hikmah dalam ke-qadiman, sebelum ia mewujud, ketika ia dalam ketiadaan sekarang, bukankah suatu kebaikan setelah aku mengenal kalian lalu aku pindahkan kakiku dari jalan hawa kalian. 
Di lain riwayat, Abu Ridho bercerita, “suatu hari beliau menjelaskan tentang cinta, tiba-tiba beliau bangkit dan diam. Lalu beliau berkata, ‘"Aku tidak akan berbicara kecuali dengan 100 dinar."’ Orang-oranagpun menyerahkan kepada beliau apa yang beliau minta. Kemudian beliau memanggilku dan berkata, ‘pergilah engkau ke pekuburan Syunuziyah dan cari seorang syaikh yang sedang bermain-main dengan kayu lalu berikan emas ini kepadanya dan bawa ia kepadaku’. Kemudin akupun pergi dan menemukan syaikh yang beliau maksud sedang berdiri dan memain-mainkan tongkat kayu. Akupun mengucapkan salam dan menyerahkan emas tersebut kepadanya. Dia berteriak dan jatuh pingsan. Saat beliau sadar aku bertanya kepadanya, ‘Syaikh, Syaikh Abdul Qadir ingin bertemu denganmu’. Beliau kemudian bangkit dan menemui Syaikh Abdul Qadir. Setibanya di sana Syaikh Abdul Qadir memberikan perintah untuk menaikkannnya di kursi tempat beliau mengajar dan meminta orang tersebut untuk menceritakan kisahnya. Dia berkata, ‘Tuanku, sewaktu aku masih muda aku adalah seorang penyanyi bagus yang dikenal banyak orang. Tetapi setelah aku tua, tidak ada seorangpun yang memperhatikan aku. Aku pergi dari Baghdad dan berkata dalam hati, “aku tidak akan menyanyi kecuali untuk yang mati”. Saat aku mengelilingi kuburan ini, aku duduk di salah satu kuburan yang ternyata telah terbelah dan nampak kepala mayat yang ada di dalamnya. Mayat tersebut berkata kepadaku, “Mengapa engkau menyanyi untuk orang-orang mati, bernyanyilah untuk Yang Maha Hidup sekali maka Dia aakn memberikan kepadamu apa yang engkau inginkan”. Akupun jatuh pingsan, dan setelah tersadar aku berkata Tuhanku, aku persiapkan apa yang aku miliki untuk hari pertemuan dengan-Mu, kecuali pengharapan hati dan ucapan mulutku. 
Memang, sudah asalnya para pengharap mengharapkan harapan dan mereka akan bersedih apabila engkau menolaknya Jika hanya golongan Muhsin yang boleh berharap kepadaMu, lalu kepada siapa si pendosa berlindung dan melarikan diri. Ubanku membuatku jelek di hari penghabisan dan perjumpaan denganMu, semoga engkau menyelamatkan aku dari apiku. Saat aku berdiri, pelayan anda datang membawakan emas ini”. Sambil mematahkan tongkat kayu yang ada di tangannya dia berkata, sekarang aku bertobat kepada Allah’. 
Usai mendengarkan kisah tersebut, Syaikh Abdul Qadir berkata, “Yaa fuqara’ , jika kejujuran (orang ini) terhadap sesuatu yang sia-sia saja menyebabkannya memperoleh apa yang ia inginkan, apalagi dengan para sufi yang bersungguh-sungguh dalam kesufian, ahwal dan thariqahnya”. 
Kemudian beliau melanjutkan, “hendaklah kalian berlaku jujur, dan bersih hati. Tanpa keduanya, tidak mungkin seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Apakah kalian tidak mendengar firman Allah, “Jika berbicara hendaklah kalian berkata jujur””. Saat beliau meminta 100 dinar, ada 40 orang mengantar jumlah yang sama kepada beliau. Beliau hanya mengambil dari satu oraang, dan setelah orang ini bertaubat, sisa dari uang pemberian tersebut beliau bagikan kepada orang-orang. Peristiwa hari itu menyebabkan 5 orang meninggal dunia. 
Al-Kaimani, Al-Bazaar, dan Abu Hasan Al-Ali yang dikenal dengan As-Saqazar bercerita bahwa pada hari Rabu tanggal 27 Sya’ban tahun 529 H. Syaikh Abdul Qadir bersama rombongan mengunjungi pekuburan Syunizi. Beliau berhenti di pekuburan Syaikh HammadAd-Dabbas agak lama kemudian menlanjutkan perjalanannya dengan muka berseri-seri. Pada saat ditanya sebab lamanya beliau berhenti dan berseri-serinya muka Beliau, sang Syaikh menjawab, “Pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 499 H aku bersama murid Syaikh Hammad mengikuti beliau keluar Baghdad. Setibanya di jembatan Yahud, beliau mendorongku sampai aku tercebur ke sungai-pada saat itu udara sangat dingin-kemudian mereka berlalu dan meninggalkanku. Aku berkata dalam hati, “Aku berniat mandi Jum’at”. Saat itu aku mengenakan jubah sufi dan di lenganku terdapat sebuah jubah lagi yang membuatku harus mengangkatnya agar tidak basah. Aku kemudian keluar dari air dan memeras jubah tersebut dan menyusul mereka dalam kondisi kedinginan hingga menusuk ke tulang. Melihat kondisiku, para murid bermaksud hendak menolongku namun beliau melarangnya seraya berkata, “Apa yang aku lakukan adalah untuk mengujinya, dan aku mendapatinya bagai gunung, kokoh tak bergerak”. “Hari ini aku melihat beliau dalam kubur memakai jubah dari cahaya bertabur permata. Di atas kepalanya terdapat mahkota dari Yakut . di tangan kirinya terdapat gelang dari emas dan beliau memakai dua sandal dari emas. Tapi tangan kanannya hilang. ‘Ada apa dengan lengan ini ?’ tanya ku kepada beliau. Beliau menjawab, ‘inilah tangan yang aku pergunakan untuk mendorongmu’. Kemudian beliau berkata, ‘maukah engkau memaafkan perbuatanku itu ?’ ‘Ya’ jawabku. ‘jika demikian’ kata beliau, ‘mohonkan kepada Allah agar Dia mengembalikan lenganku seperti sedia kala’. Akupun memohonkan kepada Allah untuk itu dan pada saat itu 5000 wali turut memohon kepada Allah, mendukungku dari kubur mereka. Aku terus memohon kepada Allah hingga akhirnya Allah mengembalikann lengan kanannya dan beliau menjabat tanganku dengan tangan kanan tersebut. Dengan demikian sempurnalah kebahagiaannya dan kebahagiaanku.” 
Ketika kabar tersebut tersebar di Baghdad para murid Syaikh Hammad beramai-ramai mendatangi sang Syaikh untuk meminta klarifikasi atas pernyataan tersebut. Setibanya di madrasah beliau, sebagai rasa hormat mereka kepada beliau, tidak ada seorangpun yang memulai pembicaraan. Beliaupun kemudian memulai pembicaraan dengan menerangkan maksud kedatangan mereka saat itu. Kemudian beliau berkata kepada mereka, “Kalian pilih dua orang. Insya Allah melalui mereka berdua akan jelas apa yang aku ucapkan”. Mereka kemudin memilih Syaikh Yusuf Al-Hamdani RA. Yang pada saat itu ada di Baghdad, dan Syaikh Abdurrahman AL-Kurdi yang memang tinggal di Baghdad. Mereka berdua termasuk orang-orang yang dianugerahi kasyf .’Kami serahkan urusan ini kepada kalian’ kata mereka kepada kedua Syaikh tersebut. ‘Bahkan kalian jangan beranjak dari tempat kalian berada sampai terbukti apa yang aku ucapkan’ kata beliau kepada mereka. Kemudian beliau menghentakkan kakinya ke tanah dan pada saat itu para sufi di luar telah berteriak memberitahu bahwa Syaikh Yusuf Al Hamdani RA telah datang dengan berjalan bertelanjang kaki sampai beliah masuk ke madrasah sang Syaikh. Di sana beliau berkata, ‘Aku bersaksi bahwa Syaikh Hammad Ad-Dabbas berkata kepadaku, “Cepatlah datangi majlis Syaikh Abdul Qadir dan katakan pada para Syaikh yang hadir bahwa apa yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Qadir adalah benar adanya’. Beliau sempat menamatkan perkataannya, Syaikh Abu Muhammad Abdurrahman Al-Kurdi datang dan beliau menyatakan pernyataan seperti yang dikatakan oleh Syaikh Yusuf Al-Hamdani RA. Setelah mendengarken pernyataan tersebut, mereka bangkit dan memohon maaf kepada Syaikh Abdul Qadir”. Seseorang berkata kepada beliau, “Kami berpuasa seperti yang Anda lakukan, dan melaksanakan shalat sepertiyang Anda lakukan. Tapi tidak ada satupun kondisi spiritualmu yang dapat kami lihat”. Beliau berkata, “kalian dapat bersaing denganku dalam hal melaksanakan amal, akan tetapi kalian tidak dapat bersaing denganku dalam hal anugerah yang diberikan kepadaku. Demi Allah, aku tidak akan makan sampai Allah berkata kepadaku, ‘Demi hak-Ku atas dirimu, makan’. Aku juga tidak minum sampai Allah berkata kepadaku, ‘Demi hak-Ku atas dirimu, minum’. Dan aku tidak akan melakukan sesuatu kecuali berdasarkan perintah Allah”. 
Syaikh Abdul Qadir berkata, “Pada suatu ketika di masa mujahadahku (perjuangan) aku tertidur. Dalam tidur tersebut aku mendengar suara yang berkata kepadaku, ‘Ya Abdul Qadir, Kami tidak menciptakanmu untuk tidur. Kami telah hidupkan engkau maka jangan lupakan Kami’”. 
Syaikh Abu Naja Al-Baghdadi, pelayan Syaikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa pernah suatu ketika hutang sang Syaikh kepada beberapa orang telah mencapai 250 dinar, lalu datanglah oraaang yang tidak aku kenal dan masuk tanpa ijin lalu duduk dihadapan sang Syaikh. Dia mengeluarkan uang seraya berkata, “ini adalah pembayar hutang” kemudian ia pergi. Kemudian beliau memerintahkan agar uang tersebut dibagikan kepada yang berhak. Kemudian –kata Syaikh Abu Naja- ketika aku menanyakan siapa orang tersebut, sang Syaikh berkata, “Dia adalah yang berjalan menurut Al-Qadar”. “Siapa yang berjalan menurut Al-Qadar” tanyaku lagi. Beliau menjawab, “Dia adalah malaikat yang diutus Allah kepada para waliNya yang memiliki hutang untuk melunasi hutang-hutang mereka”. 
Syaikh Uday bin Abu Barakat meriwayatkan bahwa ayahnya meriwayatkan dari pamannya Syaikh Uday bin Musafir. Beliau berkata, “suatu ketika saat Syaikh Abdul Qadir memberikan pengajaran, turunlah hujan yang membuat orang-orang berpencar. Sang Syaikh menengadahkan kepalanya kep arah langit dan berkata, ‘Aku mengumpulkan mereka untukMu dan Engkau cerai beraikan mereka seperti ini’. Seketika itu pula hujan berhenti, tidak ada satu tetespun air yang turun di majlis tersebut sedangkan di luar madrasah hujan tetap lebat”. 
Syaikh AbdulLah Al-Jaba’I meriwayatkan, “ Pada suatu hari Syaikh Abdul Qadir sedang berbicara tentang bagaimana menghilangkan ujub. Tiba-tiba Beliau memalingkan Muka Beliau kepadaku dan berkata, ‘Apabila engkau melihat sesuatu yang berasal dari Allah dan hal tersebut menggiringmu untuk melakukan kebaikan serta engkau dapat melepaskan dirimu dari (meminta) penjelasan akan hal tersebut maka engkau telah lepas dari sifat ujub’”. 
Syaikh orang-orang sufi, Syaikh Syihabuddin Umar As-Sahrawardi berkata, “Dulu saat aku masih muda, aku menenggelamkan diriku untuk mempelajari ilmu kalam. Aku hafal berbagai karangan dalam bidang tersebut dan segera menjadi seorang pakarnya. Pamanku telah memperingatkanku akan hal tersebut namun aku tidak mempedullikannya, sampai suatu hari aku dan dia menziarahi Syaikh Abdul Qadir. Beliau berkata kepadaku, ‘’Umar, Allah SWT berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin), sebelum pembicaraan itu’. Kami adalah orang-orang yang kalbunya selalu mendapatkan bisikan dari Allah. Sekarang lihatlah posismu di hadapan Allah agar engkau dapat melihat keberkahan melihat-Nya”. “ketika kami sudah duduk bersamanya, pamanku berkata kepada beliau, ‘Kmenakanku ini menyibukkan dirinya dengan ilmu kalam. Aku sudah larang dia akan tetapi dia tidak mematuhiku’. Mendengar penuturan pamanku, beliau mengulurkan tangannya yang penuh berkah ke dadaku dan berkata, ‘Kitab apa saja yang telah engkau hafal ?’. Akupun menjawab dengan menyebutkan berbagai kitab yang telah aku hafal. Demi Allah, saat beliau mengangkat tangannya dari dadaku, tidak ada satu katapun dari kitab-kitab, yang sebelumnya aku hafal di luar kepala, yang masih aku ingat. Saat itu juga Alah Ta’ala telah melupakan aku tentang berbagai masalahnya dan menanamkan dalam dadaku ilmu laduni. Aku bangkit dari hadapannya sambil berbicara dalam bahasa hikmah. Lalu beliau berkata kepadaku, “Umar, engkau adalah orang-orang terakhir yang termasuk golongan orang-orang masyhur di Iraq”. 
Syaikh Abdul Qadir adalah Sulthan ahl-Thariqah yang dianugerahi otoritas atas semua eksistensi. Abu Faraj bin Hamami bercerita, “Aku banyak mendengar cerita-cerita mustahil yang muncul dari Syaikh Abdul Qadir Al Jailani ra. Yang tidak dapat aku terima. Akan tetapi karena itulah aku ingin sekali bertemu dengan beliau. Suatu saat, aku pergi ke Bab Al-Azij untuk suatu keperluan. Ketika pulang aku melewati madrasahnya dan tepat pada saat itu muazin telah mengumandangkan shlalat ashar. Dalam hati aku berkata, ‘aku akan shalat ashar dan berkenalan dengan sang Syaikh’. Saat itu aku lupa bahwa aku belum berwudhu dan langsung shalat. Setelah selesai shalat, Syaikh Abdul Qadir menjumpaiku dan berkata kepadaku, ‘Anakku, jika engkau datang kepadaku dengan suatu hajat pasti akan aku kabulkan. Sayangnya sekarang engkau benar-benar lupa bahwa engkau belum berwudhu ketika melakukan shalat’. Pengetahuan beliau terhadap sesuatu yang tersembunyi menimbulkan kekaguman kepadaku akan kondisi spiritual yang telah beliau capai. Sejak saat itu aku selalu mengikutinya, mencintainya dan emlayaninya. Dari keajdian tersebut aku mengetahui keluasan berkah beliau”. 
Al-Jaba’I berkata, “ketika mendengar kitab Haliyatul Auliya’ oleh ibnu Nashir, terbetik dalam hatiku untuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari manusia dan menyibukkan diri beribadah. Saat shalat Ashar, aku berjama’ah bersama Syaikh Abdul Qadir. Selesai shalat beliau melihat ke arahku dan berkata, ‘jika engkau benar-benar ingin berkontemplasi (khalwat), maka jangan lakukan itu sebelum engkau benar-benar menguasai agama, bergaul dengan para Syaikh dan belajar dari mereka. Saat itulah engkau boleh berkontemplasi (khalwat). Jika engkau tidak melakukan itu maka engkau akan terputus sebelum engkau menjadi ahli dalam bidang agama. Engkau juga akan merasa bangga atas apa yang engkau miliki. Tapi ketika ada masalah agama yang engkau tidak ketahui, engkau akan keluar dari zawiyahmu dan bertanya kepada orang-orang tentang hal tersebut. Sebaik-baik kontemplator (orang yang berkhalwat) adalah mereka yang bagaikan lilin, memberikan penerangn dengan cahayanya”. 
Syaikh Abu Abbas Al-Khidr Al-Husain Al-Maushuli meriwayatkan, “pada suatu malam, saat kami sedang berada di madrasah Syaikh Abdul Qadir, datanglah khalifah AL-Mustanjid biLlah Abu Mudzaffar Yusuf bin Al-Imam Al-Muftaqi li amriLlah Abu AbduLlah Muhammad Ad-Dabbas. Beliau mengucapkan salam kepada sang Syaikh dan memohon nasihatnya sambil meletakkan 10 kantung uang yang dipikul oleh 10 orang budak. Syaikh berkata, “Aku tidak membutuhkan ahrta ini”. Namun sang Imam berkeraas agar Syaikh Abdul Qadir menerimanya. Syaikh Abdul Qadir kemudian mengambil 2 kantung uang yang paling besar dan paling berat lalu memeras keduanya dengan tangan beliau, maka mengalirlah darah. Berkatalah Syaikh kepada Khalifah, ‘Mudzafar, engkau peras darah rakyat lalu engkau berikan kepadaku. Tidakkah engkau malu kepada Allah ?’. sang khalifahpun pigsan mendengar hal tersebut. Kemudian sang Syaikh emlanjutkan, ‘Kalau buan karena rasa hormatku kepada garis keturunannya dengan RasuluLlah SAW, akan aku biarkan darah tersebut mengalir hingga pintu istananya’. 
Syaikh Abu Hasan Ali Al-Quraisy berkata, “saat aku menghadiri salah satu majlis sang Syaikh tahun 559 H datanglah rombongan golongnan rafidah membawa dua buah keranjang tertutup dan berkata kepada beliau, ‘Beritahu kami apa isi dua keranjang ini’. Beliau turun dari kursi dan mengulurkan tangannya memegang salah satu keranjang tersebut dan berkata, ‘Yang ini berisi anak yang lumpuh’. Lalu beliaiu memerintahkan puteranya Abdurrazaq membuka keranjang tersebut dan isinya seperti yang beliau ucapkan. Beliau pegang kaki anak tersebut kemudian berkata, ‘Bankitlah dengan ijin Allah’. Seketika anak tersebut bangkit. Kemudian beliau memegang keranjang yang lain dan berkata, “keranjang ini berisi anak yang sehat dan tidak cacat’. Ketiak keranjang tersebut dibuka, maka keluarlah seorang anak yang sehat, sang Syaikh memegang ubun-ubunnya dan berkata, ‘Duduklah’. Seketika itu pula anak tersebut menjadi lumpuh. Rombongan rafidah tersebut bertobat di hadapan beliau dan pada saat itu 3 orang meninggal dunia’. 
Diriwayatkan, dari Yahya bin Junah Al-Adib bahwasanya beliau berkata, “Dalam hati aku berkata”. ‘Aku ingin menghitung berapa banyak sang Syaikh melantunkan sya’ir di dalam majlisnya dengan menggunakan benang dari pakaianku. Akupun kemudian menghadiri majlis pengajiannya dan setiap beliau melantunkan sya’ir maka aku ikatkan benang di bawah pakaianku. Ditengah-tengah beliau bersya’ir tiba tiba beliau berkata, ‘Aku melepaskan ikatan sedang engkau mengikatnya’”. 
Syaikh Abu Hasan (Ibnu Syathantah) Al-Baghdadi berkata, “Saat aku belajar kepada sang Syaikh, aku sering berjaag di malam hari untuk melayani beliau. Pada suatu malam di bulan Shafar tahun 553 H, aku melihat beliau keluar dari ruangannya. Akupun menyodorkan tempat air untuk berwudhu kepada beliau namun beliau tidak mempedulikan tawaranku dan terus bergerak menuju pintu madrasah. Kemdian beliau memberi isyarat kepada pintu madrasah tersebut maka pintu itupun terbuka dengan sendirinya. Kemudian beliau terus berjalan keluar sementara aku mengikutinya dari belakang. Aku berkata dalam hatiku bahwa beliau tidak mengetahui kalau aku ikuti dari belakang. Beliau terus berjalan ke arah pintu gerbang kota Bagdad, maka beliaupun memberikan isyarat kepada pintu tersebut dan pintu itupun terbuka dengan sendirinya. Kami terus berjalan, namun tak berapa lama tibalah kami di suatu tempat semacam ribath yang sama sekali tidak aku ketahui. Di dalam ribath tersebut terdapat 6 orang yang sedang duduk, dan ketika mereka mengetahui kedatangan Syaikh Abdul Qadir maka merekapun segera menyambut beliau seraya mengucapkan salam. Aku segera pergi ke sudut bangunan tersebut dan dari dalam bangunan terdengarlah suara dengungan dan rintihan. Tak berapa lama, suara tersebut berhenti , kemudian seorang pria masuk ke dalam ruangan yang tadi terdengar rintihan lalu keluar dengan membawa seseorang di atas pundaknya. Setelah itu seseorang yang tidak mengenakan sesuatu di kepalanya dengan kumis yang lebat masuk dan duduk di hadapan sang Syaikh dan kemudian mengambil dua kalimah syahadah dari beliau kemudian memotong kumis serta rambutnya. Setelah itu beliau kenakan thaqiyah (topi) di kepalanya dan memberikan nama Muhammad kepadanya serta berkat kepada yang lain, ‘Aku telah diperintahkan untuk menjadikannya sebagai ganti dari yang meninggal’. ‘Kami mendengar dan patuh’ jawab yang lain. Baliau lalu keluar dari ruangan tersebut seraya meninggalkan mereka. Setelah itu beliau berjalan dan tak lama kami tiba di pintu gerbang kota Baghdad. Pintu tersebut kembali terbuka dan menutup dengan sendirinya setelah kami melewatinya. Demikian juga tak berapa lama kami tiba di Madrasah kemudian memasukinya. Keesokan harinya aku mohon kepada sang Syaikh untuk menceritakan apa yang aku lihat. Maka beliaupun menjawab, “Adapun negeri yang kita datang kemarin adalah negeri Nahawand. Enam oran yang engkau lihat adalah para wali abdal dan suara dengungan yang engkau dengar adalah wali yang ke tujuh. Dia sedang sakit dan aku hadir di sana untuk melayatinya. Adapun orang yang aku ambil syahadatnya adalah seorang nashrani dari Konstantinopel dan aku perintahkan ia untuk menjadi ganti dari si mayit. Adapun orang yang masuk dan keluar sambil menggendong jenasah adalah Abul Abbas Al-Khidhir AS yang diperintah Allah untuk mengurus jenasah wali yang wafat”. Kemudian beliau mengambil sumpahku untuk tidak menceritakan peristiwa tersebut selama beliau masih hidup. Beliau berkata, “Takutlah kamu untuk tidak membuka rahasia ini selama aku masih hidup”. 
Abu Sa’id AbdulLah bin Ahmad bin Ali Al-Baghdadi Al-Azji bercerita, “Pada tahun 537 H anak perempuanku seorang perawan berusia 16 tahun naik ke atas atap rumahku dan kemudian hilang. Akupun pergi menghadap Syaikh Abdul Qadir dan menceritakan hal tersebut. Beliau berkata kepadaku, “Pergilah ke pegunungan Al-Karh. Duduklah di puncak ke lima dan buatlah tanda lingkaran di sekitarmu sambil berkata, ‘BismiLlaahiRrahmaanirRahiim, atas niat Syaikh Abdul Qadir. Nanti ketika hari mulai gelap akan banyak jin yang melewatimu. Mereka tidak akan dapat menyakitimu. Pada waktu sahur, raja raja mereka akan lewat beserta bala tentaranya dan mereka akan menanyakan maksud kedatanganmu. Saat itulah ceritakan kepada mereka perihal anakmu’. Akupun melaksanakan perintah tersebut. Ketika hari muali gelap, geromblan jin dengan bentuk yang sangat menakutkan namun mereka tidak dapat menyakitiku atau menggangguku. Gerombolan demi gerombolan terus berlalu hingga waktu sahur datanglah raja mereka dengan mengendarai seekor kuda dan berdiri di luar lingkaran menghadap ke arahku. Dia berkata, ‘hai manusia apa keperluanmu’. “Syaikh Abdul Qadir mengutusku kepadamu”. Jawabku. Begitu mendengar nama Syaikh Abdul Qadir maka raja jin tersebut turun dari kudanya mencium tanah dan duduk, begitu pula dengan para jin lain yang menyertainya. Kemudian ia berkata, ‘apa yang terjadi pada dirimu ?’. akupun menceritakan kepada mereka aka kisah puteriku yang hilang. Setelah mendengar penuturanku, dia berkata kepada para jin, ‘Siapa yang melakukan ini’. Tidak ada satu jinpun yang mengakuinya. Lalu datanglah seorang jin bersama anakku. Sang raja berkata, ‘ini adalah pembangkang dari negeri cina’. ‘apa yang mendorongmu berani melakukan hal ini di bawah atap sang qutb ?’. tanyanya kepada jin tersebut. Jin tersebut berkata, ‘perempuan tersebut menarik hatiku dan aku mencintainya’. Sang raja kemudian memerintahkan jin tersebut untuk dipenggal kepalanya dan menyerahkan anakku kembali. Aku berkata kepadanya, ‘Aku belumpernah melihat jin dengan derajad tinggi sepertimu memenuhi perintah Syaikh Abdul Qadir’. Dia berkata, ‘Benar, dari rumahnya beliau memandang kepada jin pembangkang yang pada waktu itu berada di dasar bumi.kewibawaannya membuat para pembangkang tersebut kembali ke tempat mereka. Sesungguhnya jika Allah mengangkat seorang Qutb maka Dia akan menjadikannya sebagai Qutb diantara jin dan manusia’

Pengaruh dan Karya
Waktunya banyak diisi dengan meengajar dan bertausyiah. Hal ini membuat Syekh tidak memiliki cukup waktu untuk menulis dan mengarang. Bahkan, bisa jadi beliau tidak begitu tertarik di bidang ini. Pada tiap disiplin ilmu, karya-karya Islam sudah tidak bisa dihitung lagi. Bahkan, sepertinya perpustakaan tidak butuh lagi diisi buku baru. Yang dibutuhkan masyarakat justru saran seorang yang bisa meluruskan yang bengkok dan membenahi kesalahan masyarakat saat itu. Inilah yang memanggil suara hati Syekh. Ini pula yang menjelaskan pada kita mengapa tidak banyak karya yang ditulis Syekh.
Memang ada banyak buku dan artikel yang diklaim sebagai tulisannya. Namun, yang disepakati sebagai karya syekh hanya ada tiga:
1.Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq merupakan karyanya yang mengingatkan kita dengan karya monumental al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din. Karya ini jelas sekali terpengaruh, baik tema maupun gaya bahasanya, dengan karya al-Ghazali itu. Ini terlihat dengan penggabungan fikih, akhlak, dan prinsip suluk. Ia memulai dengan membincangkan aspek ibadah, dilanjutkan dengan etika Islam, etika doa, keistimewaan hari dan bulan tertentu. Ia kemudian membincangkan juga anjuran beribadah sunah, lalu etika seorang pelajar, tawakal, dan akhlak yang baik.
2.Al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani merupakan bentuk tertulis (transkripsi) dari kumpulan tausiah yang pernah disampaikan Syekh. Tiap satu pertemuan menjadi satu tema. Semua pertemuan yang dibukukan ada 62 kali pertemuan. Pertemuan pertama pada 3 Syawal 545 H. Pertemuan terakhir pada hari Jumat, awal Rajab 546 H. Jumlah halamannya mencapai 90 halaman. Format buku ini mirip dengan format pengajian Syekh dalam berbagai majelisnya. Sebagiannya bahkan berisi jawaban atas persoalan yang muncul pada forum pengajian itu.
3.Futuh al-Ghayb merupakan kompilasi dari 78 artikel yang ditulis Syekh berkaitan dengan suluk, akhlak, dan yang lain. Tema dan gaya bahasanya sama dengan al-Fath al-Rabbani. Keseluruhan halamannya mencapai 212 halaman. Buku ini sendiri sebetulnya hanya 129 halaman. Sisa halamannya diisi dengan himpunan senandung pujian yang dinisbatkan pada Syekh. Ibn Taymiyah juga memuji buku ini.

Kesaksian Ulama
Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syekh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata, “Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!”
Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata Syekh Junaid al-Baghdadi, “Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan, ‘Kakiku ada di atas pundak para Wali.”
Di riwayatkan oleh Syeikh Rasyid bin Muhammad Al-junaidi dalam kitab Raudhoh An-Nadzir, Pada malam Rosululloh S.A.W Mi'raj, Malaikat Jibril A.S datang menghadap rosululloh S.A.W sambil membawa binatang Buraq, telapak kaki Buraq tsb mengeluarkan cahaya seperti cahaya rembulan,
Buraq tsb di berikan kepada nabi Muhammad S.A.W oleh Malaikat Jibril A.S, Seketika juga Buraq tsb tidak mau diam karena sangat senang yang luar biasa sehingga Nabi bersabda : "Wahai Buraq kenapa engkau tidak mau diam ?, Apa karena engkau tidak mau aku tunggangi ? ", Buraq menjawab : " Wahai Rosululloh S.A.W bukan aku tidak mau Baginda tunggangi, Tetapi aku mempunyai permintaan kepada Baginda wahai kekasih Alloh, Permintaanku adalah nanti di hari Qiamat ketika baginda masuk kedalam Surga agar tidak menunggangi yang lain kecuali aku ", Rosululloh bersabda : " Wahai Buraq permintaanmu aku kabulkan ", Buraq pun berkata lagi : " Wahai baginda sudikah kiranya baginda memegang pundak ku agar menjadi ciri di hari qiamah ? ", Kemudian Rasululloh S.AW memegangkan kedua tangannya pada pundak Buraq tsb, Karena Buraq saking gembiranya yang sangat luar biasa, Sehingga badannya tidak muat lagi untuk ditempati Ruhnya, Terpaksa Buraq tsb membesar dan tinggi sampai 40 Hasta,Setelah itu Rasululloh S.A.W berdiri sebentar sambil melihat betapa tingginya Buraq tsb dan berpikir bagaimana caranya untuk naik ke punggungnya sedangkan pada saat itu tidak ada satupun tangga untuk naik, Pada saat itu juga datang ruh nya Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani seraya berkata : " Silahkan Baginda naik ke Pundak saya", Kemudian Rosululloh S.A.W Naik kepundaknya ruh Ghautsul 'Adzom Syeikh abdul Qodir Jaelani, Kemudian Syeikh abdul qodir berdiri sehingga Rosululloh S.A.W dapat naik ke pundaknya Buraq kemudian nabi bersabda : " Dua telapak kakiku menaiki pundakmu wahai Abdul Qodir, Maka telapak kakimu nanti yang akan menaiki pundak semua para wali -wali Alloh ".
Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
“Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syekh Ma’ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syekh Bisri al Hafi, 4) Syekh Mansur ibn Amar, 5) Syekh Junaid al-Baghdadi, 6) Syekh Siri as-Saqoti, 7) Syekh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syekh Muhammad ash-Shanbaki bertanya, “Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami belum mendengarnya. Siapakah Syekh Abdul Qadir Jailani?”
Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir adalah shalihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad.”
Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad (1044-1132 H), dalam kitabnya Risalatul Mu’awanah menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syekh Abdul Qadir Jaylani sebagai suri-teladannya.
Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu atau pun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.
Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syekh Abdul Qadir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikit pun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya. Ini membuktikan bahwa Syekh Abdul Qadir Jailani benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki karamah.
Ibnu Rajab juga berkata, “Syekh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu makrifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. “
Syaikh Rabi' bin Hadi Al Makhdali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, "Aku telah mendapatkan aqidah beliau (Syaikh Abdul Qadir Al Jailani) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. Maka aku mengetahui dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.
 Al-Dzahabi juga berkata, “Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syekh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi.”
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, ”Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”
Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah.

Wafat
Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam waktu tidak lama. Bahkan, ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya sehari—semalam. Ia wafat pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu usianya sudah menginjak 90 tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat baik, mengajar, dan bertausiah.
Konon, ketika hendak menemui ajal, putranya yang bernama ‘Abdul Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu:
“Bertakwalah kepada Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan jangan berharap pada selain Allah. Serahkan semua kebutuhanmu pada Allah Azza wa Jalla. Cari semua yang kamu butuhkan pada Allah. Jangan terlalu percaya pada selain Allah. Bergantunglah hanya pada Allah. Bertauhidlah! Bertauhidlah! Bertauhidlah! Semua itu ada pada tauhid.”
Demikian manaqib ini kami tulis, semoga membawa barokah, manfa,at, dan Ridho allah swt, syafa’at Rosululloh serta karomah Auliyaillah khushushon Syekh Abdul Qodir Jailani selalu terlimpahkan kepada kita, keluarga dan anak turun kita semua Dunia – Akhirat. Amien
Diambil dari berbagai sumber.